Wednesday, October 3, 2007

PUASA

Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah Romadhon segera datang lagi dan semoga kita diberi kesempatan untuk menikmatinya. Ustadzah Umamah, menjelang Romadhon ini ada yang masih mengganjal di benak saya,
1. setahu saya, kuat berpuasa adalah salah satu syarat puasa. Yang ingin saya tanyakan adalah kuat itu seperti apa? Karena setelah saya cermati, banyak orang yang sakit parah bilang bahwa mereka kuat untuk puasa dan sebaliknya orang yang hanya sakit biasa (atau bahkan hanya karena lelah) tidak berpuasa dengan dalih sakit, tidak wajib puasa.
2. Benarkah niat puasa itu tidak harus dimalam sebelum puasa (siang hari saat puasa itu)?
3. Jika bersetubuh adalah aktivitas yang jelas membatalkan puasa, bagaimana dengan hanya keluar mani tanpa bersetubuh (karena bersentuhan dengan wanita atau hal-hal lain yang membuatnya “terangsang”)?
Mohon jawabannya, jazakillah. (Tie K, Unej)

Jawab:
Wa’alaikumsalam Wr.Wb
Alhamdulillah jika kita bahagia dengan datangnya Romadhon, semoga kita bisa jadikan sebagai momentum untuk lebih dekat dengan-Nya.
1. Ukti Tie yang dirahmati Allah, sebelumnya perlu diketahui, dalam puasa ada dua syarat yakni syarat wajib dan syarat syahnya berpuasa. Syarat syahnya berpuasa antara lain :
a. Islam (selain Islam maka tertolak puasanya)
b. Mumayyiz (dapat membedakan baik dan buruk)
c. Suci dari haid dan Nifas. Keduanya tidak wajib berpuasa, tetapi wajib menqadanya.
d. Dalam waktu yang diperbolehkan puasa padanya. Dilarang puasa pada dua hari raya dan hari tasyriq (tanggal 11-13 Dzulhijjah)
Sedangkan syarat wajib puasa adalah :
a. Berakal. Orang gila tidak wajib berpuasa
b. Baligh. Anak-anak tidak wajib berpuasa
c. Kuat berpuasa. Orang yang tidak kuat misalnya karena sudah tua atau sakit, tidak wajib berpuasa. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqoroh:185 ”Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Romadhon, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannnya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupi bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Dari ayat tersebut telah jelas bagi kita bahwa Allah sekali-kali tidak menghendaki kesukaran hamba-Nya. Oleh karena itu ada beberapa golongan yang diperbolehkan berbuka, antara lain :
1. Orang yang sakit apabila tidak kuat berpuasa, atau apabila berpuasa sakitnya bertambah parah atau melambatkan penyembuhannya. Tentu saja kondisi ini menurut keterangan ahli kesehatan, bukan pernyataan relatif individu. Ia bisa mengqodo puasanya di hari yang lain jika sudah sembuh.
2. Orang dalam perjalanan jauh (80,640 KM) boleh berbuka, tetapi wajib mengqodonya.
3. Orang tua yang sudah lemah dan tidak kuat berpuasa baik karena tuanya atau fisiknya memang lemah. Ia boleh berbuka dan wajib membayar fidyah (bersedekah) tiap hari ¾ liter beras (yang mengenyangkan) kepada fakir miskin sesuai dengan firman Allah dalam QS Al Baqoroh:184 ”(yaitu) dalam beberapa hariyang tertentu. Maka barang siapa diantara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. ....”
4. Wanita hamil dan menyusui anaknya yang apabila berpuasa akan timbul kemudlorotan pada dirinya sendiri atau beserta anaknya. Ada beberapa pendapat tentang hal ini. Pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad setelah selesai wajib mengqodo dan membayar fidyah. Pendapat Imam Abu Hanifah tidak mungkin satu kewajiban dengan dua pengganti. Oleh sebab itu, beliau berpendapat hanya wajib mengqodonya. Pendapat Imam Malik wanita menyusui wajib mengqodo dan membayar fidyah. Pendapat Ibnu Rusyd menetapkan salah satu hukum saja (mengqodo atau membayar fidyah) lebih baik daripada menghimpun keduanya. Pendapat yang menetapkan wajib mengqodo lebih baik daripada yang menetapkan wajib fidyah.
2. Rukun puasa antara lain:
a. Niat pada malam hari sebelum puasa di bulan Romadhon. Sabda Rosulullah :”barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam harinya sebelum fajar terbit, maka tiada puasa baginya.” HR Lima orang ahli hadist.
Kecuali puasa sunnah, boleh berniat pada siang hari asal sebelum zawal (matahari condong ke barat).
Dari ‘Aisyah, ia berkata,” Pada suatu hari Rosulullah datang (ke rumah saya). Beliau bertanya,’Adakah makanan padamu?’ saya menjawab,’Tidak ada apa-apa.’ Beliau menjawab,’Kalau begitu baiklah, saya puasa.’ Kemudia pada hari lain beliau datang pula. Lalu kami berkata,’Ya Rosulullah, kita telah diberi hadiah kue hiasan.’ Beliau berkata,’Mana kue itu? Sebenarnya saya dari pagi puasa.’Lalu beliau memnkana kue itu.” (HR Jama’ah ahli hadist, kecuali Bukhori)
b. Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
3. Ada 6 perkarayang membatalkan puasa, antara lain :
a. makan dan minum yang disengaja
b. muntah dengan sengaja, sekalipun tidak ada yang kembali ke dalam
c. bersetubuh
d. keluar darah haid atau nifas
e. gila. Jika gila itu datang pada siang hari, maka batallah puasanya.
f. Keluar mani dengan sengaja. Meski tidak bersetubuh, ini dapat membatalkan puasa karena keluar mani adalah puncak yang dituju pada persetubuhan. Adapun keluar mani pada saat bermimpi, menghayal dan hal-hal yang tidak disengaja lainnya, tidak membatalkan puasa.

Sunday, April 22, 2007

Air Wudlu

Air yang bagaimanakah yang sah digunakan untuk berwudhu? karena setahu saya hanya air yang telah mencapai dua kullah dan air yang mengalir yang sah dipakai untuk berwudhu.
(ies.Mha Jember)
Jawab:
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Mengenai masalah air yang telah digunakan untuk berwudhu‘, ada dua pendapat yang berbeda dan masing masing memiliki dasar, dalil dan hujjah yang kuat.
Pertama, Imam Syafi‘i dalam qaul jadidnya berpendapat bahwa air musta‘mal (yang telah digunakan untuk berwudlu‘) itu suci dan tetapi tidak mensucikan. Jadi tidak boleh digunakan lagi untuk berwudhu‘. Kecuali bila jumlah air itu mencapai minimal 2 qullah atau air yang mengalir (seperti sungai atau kran).
Bila jumlahnya kurang dari dua qullah, boleh digunakan untuk wudhu bila tidak kemasukan air sisa wudhu‘, misalnya digunakan dengan cara dituangkan (dialirkan) dan tidak dengan mencelupkan tangan.
Dalil yang digunakan adalah hadits dari Abdullah bin Zaid Ra. Bahwa beliau melihat Rausullah SAW berwudhu, lalu disebutkan sifat wudhu‘nya hingga .. beliau mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa air wudhu‘ dari tangannya, kemudian mencuci kakinya. (HR Muslim dan Abu Daud)
Hadits tersebut menyebutkan bahwa Rasulullah menggunakan air baru untuk mengusap kepalanya dan tidak menggunakan sisa air yang masih ada ditangannya. Pendapat ini yang kebanyakan diikuti oleh ulama dan umat Islam di Indonesia yang bermazhab kepada Imam as-Syaf‘i radiyallahu ‘anhu.
Kedua, Imam Malik dan para ulama lainnya berbeda pendapat dengan Imam Syaf‘i dalam masalah air musta‘mal. Bahkan Imam syafi‘i sendiri dalam qaul qadimnya juga berpegang pada pendapat ini.
Mereka tidak membedakan antara air yang sudah digunakan untuk wudhu‘ dengan yang belum digunakan. Menurut mereka keduanya sama-sama suci dan mensucikan meski tidak mencapai dua qullah atau bukan air mengalir.
Dalil yang mereka gunakan adalah :
Ayat Al-Quran yang artinya : Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang mensucikan. (QS Al-Furqan : 48)
Air yang mensucikan dalam ayat itu menggunakan wazan fa‘ul yaitu tahuur. Ini mengandung makna berkali-kali, bukan hanya sekali (mensucikannya). Jadi meski sudah digunakan untuk wudhu‘, tetapi tetap boleh digunakan lagi untuk wudhu‘.
Hadits Nabi Diriwayatkan dari Ar-Rubai‘ binti Mu‘awwad :”..lalu beliau membasuh kepalanya dengan air sisa wudhu‘ yang ada di tangannya”. (HR Ahmad) dan hadits senada diriwayatkan oleh Abu Daud.
Atsar Shahabat Ibnu al-Munzir berkata bahwa diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, ‘Atho‘, al-Hasan, Makhul dan An-Nakha‘i bahwa mereka berkata tentang orang yang lupa membasuh kepalanya tapi mendapatkan basah air di jenggotnya : Cukuplah bagi mereka mengusap kepala dengan sisa air di jenggot itu. Ini menunjukkan bahwa mereka berpendapat bahwa air musta‘mal itu mensucikan.
Jadi Ibu, dari dua pendapat ini kita bisa ambil salah satu saja pendapat tersebut yang terkuat untuk bisa kita amalkan dalam wudlu kita.
Wallahu a‘lam.

Barang temuan

Assalamu’alaikum WrWb.
Ustadzah saya baru-baru ini menemukan sebuah barang di tempat kerja saya yang saya tidak mengetahui pemiliknya, barang itu kemudian saya bawa pulang. Bagaimana hukumnya saya membawa pulang barang tersebut??terima kasih
Wassalamu’alaikum Wr Wb (Rida-Jember)

Jawab
“Al-luqathah” menurut bahasa artinya barang temuan, sedangkan menurut istilah syara’ ialah barang yang ditemukan di suatu tempat dan tidak diketahui siapa pemiliknya.
Rasulullah SAW bersabda:Dari Zaid bin Khalid, sesungguhnya Nabi SAW ditanya orang tentang keadaan emas atau mata uang yang didapat. Beliau bersabda : “Hendaklah engkau ketahui tempatnya, kemudian umumkanlah (kepada masyarakat) selama satu tahun. Jika datang pemiliknya maka berikanlah kepadanya, dan jika tidak ada yang mengambilnya setelah satu tahun maka terserah kepadamu.”(HR.Al-BukharidanMuslim).
Hukum luqathah
1. Wajib (mengambil barang itu), apabila menurut keyakinan yang menemukan barang itu, jika tidak diambil akan sia-sia.
2. Sunnah, apabila yang menemukan barang itu sanggup memeliharanya, dan sanggup mengumumkan kepada masyarakat selama satu tahun.
3. Makruh apabila yang menemukan barang itu tidak percaya pada dirinya untuk melaksanakan amanah barang temuan itu dan khawatir ia akan khianat terhadap barang itu.
Kewajiban Bagi Orang yang Menemukan Barang
1.Wajib menyimpannya dan memelihara barang temuan itu dengan baik
2.Wajib memberitahukan dan mengumumkan kepada khalayak ramai tentang penemuan barang tersebut dalam satu tahun.Rasulullah SAW bersabda :“Siapa yang menyimpan barang yang hilang maka ia termasuk sesat kecuali apabila ia memberitakan kepada umum dengan permberitahuan yang luas”. (HR. Muslim).
3.Wajib menyerahkan barang temuan tersebut kepada pemiliknya apabila diminta dan dapat menunjukkan bukti-bukti yang tepat.
4.Jika benda yang ditemukan itu termasuk benda yang harganya murah, maka pengumuman itu cukup tiga harri dengan perkiraan yang punya benda itu sudah tidak memerlukannya lagi. Setelah itu yang menemukan benda itu boleh memanfaatkannya, dan jika yang punya benda itu datang mengambilnya setelah benda itu dimanfaatkan, maka yang memanfaatkannya harus bersedia untuk menggantinya.
5.Jika yang ditemukan itu memerlukan biaya perwatan, seperti binatang ternak, maka biaya perawatan itu dibebankan kepada pemiliknya. Jika sudah beberapa bulan belum juga datang, maka hewan itu boleh dijual atau dipotong untuk dimakan dan jika pemiliknya datang, maka hasil penjualan hewann itu diserahkan kepada pemiliknya atau hewan yang dipotong itu diganti harganya.

Sunday, April 15, 2007

AQIQAH

Assalamu’alaikum WrWb.
Saya adalah seorang ibu yang baru melahirkan dan hendak melakukan aqiqah untuk putra saya, tapi saya kurang banyak tahu tentang hukum dan pelaksanannya,mohon dijelaskan seputar aqiqah itu?
Wassalamu’alaikum WrWb. (Sri-Jember)
JAWAB:
Kata aqiqah menurut bahasa artinya penyembelihan/pemotongan . Aqiqah menurut syara’ ialah penyembelihan binatang ternak pada hari ketujuh dari kelahiran anak laki-laki ataupu perempuan. Pada hari itu anak diberi nama yang baik dan rambut kepalanya dicukur.
Rasulullah SAW bersabda :
Dari Samurah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda : “Setiap anak yang baru lahir tergadai (menjadi tanggungan) dengan aqiqanya sampai disembelih (aqiqah) itu untuknya pada hari ketujuh, dicukur dan diberi nama.” (HR. Ahmad, Imam Empat dan Disahkan oleh At-Turmudzi).
Hukum Aqiqah
Aqiqah hukummnya sunnah muakkad bagi kedua orang tua yang mempunyai tanggungan belanja atas anak itu dan mampu. Tetapi apabila aqiqah ini dinadzarkan maka hukumnya wajib. Daging aqiqah nadzar harus dibagikan seluruhnya dan yang beraqiqah tidak boleh makan dagingnya sama sekali.Adapun binatang ternak untuk aqiqah adalah kambing, bagi anak laki-laki dua ekor kambing dan bagi anak perempuan satu ekor kambing. selain itu juga tidak diperbolehkan adanya kebersamaan (satu kambing untuk beberapa anak).
Rasulullah SAW bersabda “Allah tidak menyukai kenakalan anak-anak terhadap kedua orang tuanya (durhaka), siap yang dianugerahi seorang anak dan ingin beribadah menyembelih hewan untuknya, maka laksanakanlah untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang setingkat dan untuk anak perempuan seekor kambiing.” (HR. Abu Dawud). Ketentuan dan syarat binatang untuk aqiqah sama dengan ketentuan dan syarat binatang qurban.
Hal-hal yang Disunnahkan Waktu Melaksanakan Aqiqah
a.Membaca basmalah.
b.Membaca sholawat atas Nabi.
c.Membaca takbir.
d.Membaca doa.
e.Disembelih sendiri oleh ayah dari
anak yang diaqiqahkan.
f. Daging aqiqah dibagikan kepada fakir miskin dan tetangga setelah dimasak terlebih dahulu.
g. Pada hari itu anak dicukur rambutnya dan diberi nama dan bersedekah seberat rambu bayi yang baru dicukur dengan nilai 1/2 atau 1 dirham.